image from google |
Sekali waktu, mungkin ada di antara teman-teman kita meluapkan emosi mereka di dunia maya. Ekspresi kebahagiaan akan menyebarkan kebahagiaan pula. Ekspresi kesedihan mungkin mengundang simpati. Tapi, bagaimana jika yang ditampilkan adalah kemarahan?
Ketua Jurusan Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) Herlina Agustin menjelaskan, ungkapan kemarahan seseorang terhadap orang lain yang diluapkan melalui dunia maya akan berbekas lebih lama ketimbang jika disampaikan secara pribadi dalam konteks tatap muka.
"Sebab, dunia maya atau virtual termasuk ruang publik. Efek dari segala sesuatu yang disampaikan di ruang publik virtual akan bertahan lebih lama ketimbang jika kita menyampaikannya secara privat," kata Herlina ketika berbincang dengan okezone, Rabu (11/1/2012).
Mengutip teori ruang publik (public sphere) Jürgen Habermas, wanita yang akrab disapa Titin ini menjelaskan, kelemahan ruang publik virtual adalah ia tidak memiliki batasan ruang dan waktu. Akibatnya, seringkali kita terpapar berbagai informasi yang sebenarnya tidak kita butuhkan.
Misalnya, ketika membuka situs jejaring sosial, kita akan langsung dihadapkan dengan barisan postingan wall atau timeline teman-teman yang mungkin tidak ingin kita baca. Tidak jarang, di antara postingan tersebut ada yang memprovokasi atau menampilkan hal yang tidak patut.
Untuk mengontrolnya, kata Titin, kita tetap harus menerapkan norma-norma kehidupan sosial, setidaknya dimulai dari diri sendiri. Sebab, pada dasarnya, semua norma berlaku tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya.
"Jangan gunakan ruang publik seperti jejaring sosial sebagai sarana eksplorasi ruang privat, karena kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi setelah kita memposting sesuatu," kata Titin menegaskan.
Eksplorasi ruang privat, misalnya ditunjukkan dengan memasang profile picture sedang berciuman, memakai pakaian terbuka, atau memasang status emosional seperti ungkapan kemarahan terhadap seseorang tadi.
Ibu empat anak ini memaparkan, suatu waktu dia menjumpai foto profil BBM salah seorang mahasiswanya yang sedang 'menunaikan urusan' di kamar mandi. Menurut Titin, ketika memposting foto itu sebagai foto profilnya, mungkin dia anggap itu hanya seru-seruan anak muda.
"Tapi buat apa sih? Yang melihat foto itu kan bukan hanya dia seorang. Dia tidak berpikir panjang bahwa efeknya akan terus berlangsung. Akibatnya, ingatan akan foto itu terus menancap ketika saya bertemu langsung dengan si mahasiswa, meskipun foto profilnya sudah berganti," ujarnya.
Wanita berkerudung ini mengimbuhkan, kesadaran tentang ruang privat dalam ruang publik ini memang perlu ditumbuhkan. Apalagi di tengah kultur masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya memahami filosofi internet dan ruang publik, jumlah pengguna internet di Tanah Air justru sangat besar.
"Siapa saja memang bisa menggunakan internet dan jejaring sosial. Dan kita perlu menumbuhkan kesadaran menggunakan media ini dengan bijak. Sesuai fungsinya sebagai ruang publik, maka gunakanlah internet dan jejaring sosial sebagai medium untuk hal-hal yang bersifat publik, jangan menjadikannya ajang eksplorasi untuk ruang privat," ujarnya menandaskan.
Rifa Nadia Nurfuadah
sumber : okezone.com
No comments:
Post a Comment